Husam Dejni
Tidak tepat bila gerakan atau organisasi besar mengambil keputusan strategis pada saat diterpa sejumlah krisis. Sebab sejarah masih terus berputar, dinamika politik terus terjadi. Mereka terus memprediksi sikap dan keputusan penentu dan pemegang kebijakan sesuai dengan fase sejarah yang dilalui. Sehingga keputusan-keputusan strategis yang akan diambil gerakan besar itu dianggap hilang tanpa makna. Akan tetapi mencari dan mengkaji keputusan-keputusan strategis adalah hal penting dan mendesak melalui penilaian terhadap pengalaman dan perjalanan gerakan Hamas ini dengan tetap melihat masa depan. Setelah itu berusaha mengkonsep keputusan-keputusan. Hal ini yang mendorong kita untuk memberikan usulan kepada Hamas agar melakukan kajian terhadap pilihan-pilihan strategis. Kerumitan dan kompleksitas situasi politik ekonomi dan sosial yang sedang dialami Hamas dimanfaatkan lawan-lawan politiknya untuk mencari cara menghancurkan dan menghabisinya. Di tengah situasi seperti ini muncul pertanyaan; apa yang seharusnya ditempuh oleh Hamas sebagai pilihan-pilihan dalam fase saat ini. Sebelum berbicara tentang pilihan-pilihan strategis, kita harus mundur sejenak mengingat fase-fase yang pernah dilalui oleh Gerakan Perlawanan Islam Hamas ini. Fase yang dilalui Hamas terbagi atas sebagai berikut: fase berdiri hingga fase era Oslo, kemudian era pemilihan umum yang pernah diikuti pertama kali oleh Hamas pada januari 2006 hingga era kekuasaan pemerintahan yang dipegangnya sampai saat ini. Satu, Fase Berdiri Hingga Fase Era Oslo Setelah meletusnya Intifadah besar pada desember 1987, Hamas lahir dari rahim Jamaah Ikhwanul Muslimin di Palestina. Saksi-saksi sejarah mengatakan, Jamaah Ikhwan memutuskan untuk terlibat dalam aksi Intifadah sebagai bagian dari gerakan politik pembebasan. Jika gagalpun sebenarnya tidak akan ada sekenario kegagalan bagi jamaah Ikhwan. Namun Hamas berhasil dengan tingkat yang sangat tinggi. Mereka yang mampu menarik ribuan pemuda Palestina yang memiliki semangat yang tinggi. Perjalanan perjuangan Hamas terus berlanjut hingga mencapai pada pembentukan embrio sayap militer. Perlawanan bersenjata ditempuh. Dalam perjalanannya mereka mampu mewujudkan sejumlah capaian- capaian di lapangan. Sampai kemudian dimulai perundingan Madrid dan Oslo. Lahir dari rahim kesepakatan Oslo, Otoritas Palestina yang dianggap sebagai otoritas “cacat” secara politik. Kedua, Fase Oslo Hingga Pemilihan Umum Palestina Januari 2006 Otoritas Palestina dibentuk sebagai hasil dari penandatanganan kesepakatan Oslo. Semua orang meyakini, kesepakatan ini akan mengantarkan kepada berdirinya negara Palestina merdeka dan akan diakhiri dengan penjajahan Israel. Sayang sekali bangsa Palestina dibenturkan dengan realitas baru berupa “penjajahan dalam bentuk baru”. Otoritas Palestina hanya menjadi otoritas “pegawai” yang berperan menjaga keamanan Israel dan menjaga kepentingannya serta membantu teori keamanan Israel. Otoritas Palestina melakukan ini dengan kompensasi bantuan yang akan diberikan oleh negara-negara donor kepada otoritas Palestina. Sehingga kita memiliki tentara yang hanya berfikir sebagai pegawai yang menunggu gaji di akhir bulan atau kenaikan pankat. Israel justru terbebas dari tugasnya sebagai penjajah di lapangan. Israel hanya menguasai perlintasan-perlintasan dan masuknya komoditas dan barang melalui jalur laut udara dan darat. Situasi inilah yang mendorong presiden Yaser Arafat terlibat dalam perjanjian Cam David dan menolak tekanan Amerika serta tawaran Israel terkait dengan solusi sudut kota suci Al-Quds dan tempat-tempat suci lainnya di Palestina. Pada saat itulah meletus Intifadah Al-Aqsa dan terjadi perubahan-perubahan dalam perimbangan kekuatan di Palestina. Sampai datanglah pemilu legislatif pada Januari 2006 dan Hamas mendapatkan 74 kursi di parlemen. Ketiga, Fase Pemerintahan dan Kukuasaan Hamas Hamas menang dalam pemilu legislatif dan membentuk pemerintahan Palestina yang ke 10. Namun Hamas terbentur dengan kenyataan pahit sebagai pemerintahan hasil pemilu di Palestina. Sebab barat pengusung sistem demokrasi menolak hasil pemilu tersebut. Kemudian Tim Kuartet Internasional memberikan syarat-syarat kepada Hamas dan pemerintahannya. Sikap tim kuartet itu kemudian mendorong sejumlah kekuatan internal di Palestina menolak terlibat dalam pemerintahan bentukan Hamas dengan berbagai macam alasan. Situasi ini kemudian menggiring kepada terjadinya blokade berat kepada Jalur Gaza wilayah yang dikuasai dan sebagai pusat pemerintahan Hamas. Situasi semakin runyam karena terjadi konflik internal di Palestina. Akhirnya, dalam konflik tersebut, Hamas keluar sebagai pemenang dan menguasai kendali Jalur Gaza bersama sejumlah sekutunya. Penjajahan zionis dan para sekutu yang mendukungnya terus melakukan blokade sampai isu Palestina semakin menjauh pudar. Situasi semakin sulit karena perkembangan konflik yang meletus di sejumlah negara Arab, dari Suriah, Mesir dan negara Arab lainnya. Dari situasi ini saya ingin sumbang saran kepada Hamas untuk dibahas. Kemungkinan Hamas akan bisa melakukan manuver politik yang bisa membantu proyek nasional dan mengurangi serta meminimalisir jurang pemisah antara gerakan nasional Palestina sebab tujuan strategis bagi semua pihak di Palestina adalah membebaskan Palestina dan mengembalikan pengungsi Palestina ke tanah air mereka. Setelah paparan singkat di atas perjalanan sejarah Hamas, ada dua pilihan mendasar yang patut dikaji; Pertama, Hamas harus mengumumkan berdirinya Partai Politik Sipil yang berangkat dari rahim gerakan Hamas yang mampu menciptakan dan melakukan terobosan dan menggebrak kebekuan tembok “barat” yang selama ini menghalangi. Partai ini bertujuan melakukan manajemen dan mengatur urusan umum melakukan konsolidasi sikap rakyat Palestina dalam menghadapi segala macam ujian. Partai ini akan terinspirasi dari pemikiran Islam moderat yang mampu menampung dan mengakomodir semua komponen masyarakat Palestina dan mampu berinteraksi serta menyesuaikan diri dengan pihak-pihak di negara di kawasan regional dan internasional. Biarlah Hamas tetap akan menjadi judul besar “perlawanan, pembinaan dan pembangunan manusia Palestina”. Kedua, Hamas harus melakukan revisi terhadap piagam gerakan Hamas yang dirumuskan tahun 1988 yan lebih lebih mengedepankan narasi agama untuk mobilisasi massa. Barangkali narasi ini membutuhkan revisi untuk dilakukan penilaian terhadap pasal-pasal dan pengertiannya. Sehingga Hamas mampu melakukan manuver dengan masyarakat internasional dan konsitusi internasional serta membentuk sistem politik peradaban yang mampu merespon kebutuhan kebutuhan semua warga dan mengerahkan seluruh energinya demi mewujudkan proyek pembebasan Palestina. (bsyr) Kolumnis Palestina Harian Al-Quds Arab London