<img src="http://2.bp.blogspot.com/-Hl9lEJLhsiw/VBobvn2sc1I/AAAAAAAAzjk/nQy92w1pkj4/s1600/Al+Qassam.jpg" alt="zulkinofr"
Sebuah terjemahan surat dari
Widad Asfoura kepada
suaminya Muhammad Dheif,
pemimpin Sayap Militer Hamas
Brigade Izzudin Al Qassam.
Widad Asfoura dan anaknya
Ali Muhammad Dheif keduanya
syahid setelah 'rumah' yang
mereka sedang berrada disitu di
bom Israel 19 Agustus 2014.
Zionis Israel
mentargetkan Muhammad Dheif,
tapi Allah SWT masih menjaga
beliau.
Saya alih bahasakan surat istri
pemimpin Al Qassam yang
paling dicari ini, mengambil
hikmah dari kisah heroik
seorang istri pemimpin Brigade
Al Qassam.
_______
Teruntuk belahan jiwaku dan
penyejuk mata.
Kepada Pemimpin Bangsa yang di
jarimanisnya melingkar pasangan
dari cincinku. Kepada “Dheif” Aku
beruntung saat bersamamu dan
denganmu aku merasakan
indahnya hidup setelah menangis
bertahun-tahun.
Inilah pertamakalinya dalam
sejarah ketika sebuah kisah cinta
dikisahkan saat pelakunya
meregang nyawa, dan betapa
beruntungnya aku karena akulah
wanita yang menukar jiwanya
untuk menyelamatkan sang
kekasih agar ia terus memimpin
pasukannya dan terus
mengembangkan persenjataan
mereka.
Hari ini, namaku dan namamu,
Muhammad Diab Al Dheif, akan
diumumkan kepada khalayak,
berdampingan agar dunia
mendengar dan mereka akan
menghamparkan karpet merah
kepada kita. Bintang sejati tidaklah
terdapat dilangit melainkan
“bersemayam” di terowongan-
terowongan. Hingga tiba waktunya
saat mereka menemukan cahaya
dan masyarakat dunia melihat
keindahan dari kilauannya.
Aku tahu kau sedang tergesa
karena terbatasnya waktu dan
ketidakpastian dalam hari-hari
yang mencekam ini, tetapi istrimu
yang anggun, pendiam, dan teguh
ini merindukan “musuh terbesar
dari musuh terbesar kita”
mendengarkan perkataan si pemilik
Widad. Bukankah aku juga salah
seorang dari “tentara” anonimmu,
Brigade Al Qassam?
Kemarilah dan duduklah
disampingku sebentar dengan
pakaian tentaramu untuk yang
terakhir kalinya. Engkau terlihat
lebih gagah dengan pakaian
tentara daripada kemeja putih dan
dasi merah seperti yang dipakai
oleh para politisi dan orang-orang
terkenal. Biarkan wangi “keringat
pertempuran” memancar dari
dirimu. Wewangian dengan merek
“Dheif”. Biarkan aroma wewangian
Prancis dan bunga jasmin
memudar saat dibandingkan.
Aku adalah wanita yang sangat
menjaga diri sejak kecil dan kakak
perempuanku, Eman yang umurnya
setahun lebih tua dariku,
“bayangan jiwaku”, dan yang
paling dekat denganku dari
keempat saudariku, selalu
menggodaku karenanya. Bahkan
hingga kami beranjak dewasa ia
selalu mengingatkanku saat kami
pergi sekolah bersama dan akan
menyebrang jalan. Jika aku melihat
mobil akan melintas diujung jalan
aku akan berhenti hingga mobil
tersebut benar-benar hilang
diujung jalan yang lain. Dan Eman
akan berteriak padaku, ”Santai saja
Widad! Aku akan meninggalkanmu
karena bel masuk akan berbunyi.”
Aku selalu mengagumi cara hidup
“agamis” abangku Ibrahim. Aku
sangat dipengaruhi olehnya dan
selalu patuh kepadanya seperti ia
adalah ayah. Aku ingat ketika ia
akan ujian akhir di sekolah; Aku
membangunkannya saat subuh
agar ia bisa belajar. Ibuku yang
sinar di wajahnya hanya akan
ditandingi oleh cerahnya mentari
selalu berkata, “Aku hanya akan
menikahkan putriku pada salah
satu tentara Brigade Al Qassam”.
Saat aku remaja, ibu memberiku
sebuah lencana pembeda ketika ia
meyakinkanku bahwa aku berbeda
dengan saudari-saudariku yang
lain; dalam menghafal Al Quran
akulah yang paling tajam diantara
mereka, aku yang paling toleran,
dan mau mengalah walaupun
pendapatku benar.
Aku sangat mencintaimu Ibu ketika
engkau mengisahkan pernikahanku
dengan Muhammad Al Dheif ,
karena caramu mengisahkan yang
diikuti tawa bangga bukanlah
“kebanggaan yang dibuat-buat.”
Enam tahun yang lalu kita duduk
bersama beberapa orang wanita
dan mengobrol hingga salah
seorang wanita tersebut
mengatakan istri lelaki ini belum
dikaruniai anak saat itu. Walau pun
beragam pengobatan telah
dilakukannya tidak ada yang
berhasil, laki-laki tersebut tetap
tegas menolak untuk menikah
dengan wanita lain meskipun
mempunyai alasan untuk itu.
Desakan dari orang-orang
terdekatnya semakin kuat agar ia
mempunyai keturunan laki-laki
untuk melanjutkan namanya. Saat
itu Ibuku menjawab tiba-tiba, “Jika
ia melamar putriku aku akan
menyetujui. Hal ini adalah sebuah
kebanggaan bagi kami.” Perkataan
Ibu disampaikan pada lelaki itu
dan beberapa hari kemudian ia
datang untuk melamarku.
Aku suka perkataanmu Ibu, “Aku
yang memintanya untuk menikahi
putriku, bukan sebaliknya,” dan aku
lebih menyukai pandanganmu Ibu
yang engkau sampaikan dengan
ungkapan umum yang mengacu
pada keadaan sebenarnya,
menikahi lelaki sejati walaupun
menemui onak duri adalah lebih
baik daripada menikahi lelaki yang
berakhlak.
Dalam jiwaku ada dua pejuang
Qassam dan diantara keduanya
hatiku menjadi peta bagi negeri
yang dijajah. Hati ini tidak akan
bisa dimengerti oleh wanita yang
diberikan kemewahan menjalankan
kehidupan yang biasa. Hati ini
tidak patah karena perpisahan,
walaupun dijalani dengan
kesedihan dan keletihan. Pembuluh
hati ini yang pertama adalah Bilal
Qasi’a dan betapa sulitnya bagi
seorang wanita muda, aku menikah
diumur 16 tahun, memahami dan
menerima kenyataan bahwa cinta
pertamanya tidak lagi
mendampingi setelah menjalani
hidup bersama selama 3 tahun.
Kebaikan Bilal seperti air terjung
yang membenam dalam hatiku.
Beberapa hari sebelum
kesyahidannya, ia membawaku ke
pasar dan membelikan aku dan
anak-anak, Bakr dan Banan,
beberapa pakaian baru. Pada hari
itu ia mengatakan padaku bahwa
aku sedang hamil, walaupun hasil
tes kehamilan negatif, dan
perkataannya menjadi nyata, aku
sedang mengandung putri kami
Banan.
Setelah Bilal syahid selama tiga
tahun aku hancur; aku seringkali
menangis hingga keluargaku
menjadi cemas dengan keadaanku.
Saat aku ketakutan berdiri
disamping tubuhnya aku tidak
berdoa, “Ya Allah, Berilah ganjaran
atas penderitaanku dan berikan
pengganti yang lebih baik sebagai
ganti yang telah lalu.” Perkataanku
waktu itu adalah perkataan Ummu
Salama, janda sahabat nabi
Muhammad S.A.W. yang berpikir
tidak ada yang lebih baik daripada
suaminya yang telah meninggal
namun kemudian nabi Muhammad
S.A.W. menikahinya. Dan aku
berkata, “Adakah yang lebih baik
daripada Bilal?” Ditengah desakan
aku berkata pada diriku sendiri
Muhammad Dheif adalah takdirku
yang paling baik setelah tiga tahun
aku menolak untuk menikah lagi.
Saat itu Ibu berkata, “Widad telah
menemukan sebongkah emas
diujung pelangi.”
Engkau mencari janda yang
memiliki anak dan permintaanku
hanya satu, Abu Khalid, yaitu
anakku tetap bersamaku dan kita
pun mencapai kata sepakat atas
hal tersebut. Aku tidak menyangkal
bahwa sulit dan dilema bagiku
sebelum menyetujui untuk menikah
denganmu. Aku takut pernikahanku
denganmu menjadi sebuah
penghianatan terhadap Bilal dan
aku takut tragedi yang sama akan
terjadi lagi dan anak-anaku
kembali kehilangan ayah dan
menjadi yatim. Aku bahkan takut
jika aku syahid dan meninggalkan
anak-anakku tanpa ibu. Aku
bermimpi tentang Bilal dan aku
menemukan jawabannya.
Peristiwa itu seperti mimpi, dan
Demi Allah, mimpi itu menjadi
nyata dalam beberapa jam
kemudian. Pada tahun 2008, aku
pernah berkata kepada Eman
setelah menikah, “Aku telah
mendengar berbagai hal tentang
dia tetapi aku tidak pernah
menyangka bahwa mimpi itu
berbeda saat hidup bersamanya.
Jika aku mempunyai waktu
beberapa hari saja hidup
bersamanya, itu lebih dari cukup
untuk seumur hidup.” Penjajah
berkata, “Al Dheif menikah terburu-
buru karena ia ‘mandul’. Dia bukan
bagian dari terorisme, terorisme
adalah bagian darinya,” aku
kemudian menjawab dengan
senyum sinis, “Musnahlah karena
kemarahanmu”.
Engkau membuat Israel menjadi
gila karena memperlihatkan aksi-
aksimu kepada mereka daripada
memperlihatkan wajahmu. Usaha
mereka untuk membunuhmu telah
gagal dan setiap warga ingin
melihat bayanganmu Pahlawanku,
bahkan walaupun dari jauh. Namun
hanya aku yang tahu warna
matamu, goresan di wajahmu,
berapa tinggi badanmu, berapa
banyak gula yang diseduh dalam
tehmu, dan bagaimana bentuk
sikat gigimu. Hanya aku yang
mengetahui kebiasaan-kebiasaan
rahasiamu seakan-akan Allah
menciptakanku pasangan “pas”
untuk seorang legenda sepertimu.
Setiap orang tahu aku jauh dari
keingintahuan orang dan aku
sangat tertutup tentang kehidupan
pribadiku.
Rumah kita tidak mempunyai satu
alamat tetap; alamat kita selalu
dikelilingi pembatas keamanan.
Tidak seorang pun tahu aku adalah
istri dari seorang buronan nomor
satu kecuali mereka yang sangat
dekat denganku. Saat berita itu
menyebar saudara-saudara orang
tuaku membentak mereka, “kalian
tidak menandatangani akta
nikahnya, tetapi kalian
menandatangai akta kematian
dirinya.” Dan aku juga
mempersiapkan jawaban
“kesamaan nama” untuk orang-
orang yang memperhatikan
dokumen-dokumen dari anak-
anakku.
Dalam kisah kita sang pahlawan
tidak pernah diizinkan untuk
berjalan santai, mengunjungi
sanak famili, atau bahkan
menelpon dengan tenang. Bahkan
lautan pun tak percaya ia pernah
melihat kita, tak sekalipun,
berjalan-jalan dengan kaki
telanjang menyusuri tepiannya
seperti yang dilakukan oleh orang
lain. Engkau adalah yang terbaik
dalam menghapus setiap jejak
kita.
Semua yang aku lakukan adalah
untuk membuat engkau senang
denganku, dan aku merasakan
kenyamananmu di pakaianmu dan
makananmu. Khususnya saat aku
membuat makanan yang kau suka.
Ucapan ibumu selalu terngiang di
telingaku, “Aku melihat kebaikan
dalam dirinya nak.”
Aku masih mengingat ekspresi di
wajahmu di situasi yang
mempunyai pengaruh besar dalam
hidupku di awal-awal pernikahan
kita: Engkau memberikan pelajaran
padaku tentang taqdir dan
keimanan. Engkau berkata,” Widad,
hari-hariku bersamamu mungkin
bisa dihitung atau Allah
menakdirkan aku untuk hidup
berpuluh-puluh tahun. Contohnya
Khalid bin Walid r.a. yang
berperang melawan musuh namun
wafat di atas tempat tidur.
Bagaimanapun jua cita-citaku
adalah syahid.”
Sejak hari pertama kita bersama
hidupku berubah. Aku seperti
burung bulbul yang berkicau
tentang kehidupan tanpa
merasakan perbedaan umur
diantara kita. Aku seperti terbang
ketika engkau mengirimkan pesan,
dalam caramu yang rahasia, untuk
bertemu ditempat yang engkau
tentukan. Kejutan terbaik untukku
adalah menemukanmu disana;
engkaulah hadiah terbaik dan
engkau tidak pernah menolak
permintaanku. Jika aku melakukan
sesuatu yang tidak kau sukai,
engkau akan meluruskan aku
dengan caramu yang paling
lembut.
Aku akan menyampaikan padamu
dengan suaraku dan berkata, “Aku
tidak dapat membayangkan engkau
lebih dulu syahid daripada diriku.
Aku tidak dapat menanggung
kepedihan tragedi itu lagi.
Muhammad, Aku mengatakan hal
ini dengan jujur dan kehangatan, ”
Aku rela berkorban untukmu,
pemimpinku.”
Aku selalu bertanya-tanya pada
diriku sendiri tentang keluhuran
dan kedermawanan yang engkau
miliki yang membuatmu
mengalahkan perasaan posesif dan
mungkin kecemburuan ketika aku
bercerita tentang kehidupan rumah
tanggaku sebelumnya dengan
Bilal. Engkau bahkan memanggilku
dengan nama Ummi Bakar sebagai
penghormatan atas fase
kehidupanku tersebut, dan engkau
selalu menanyakan kabar keluarga
Bilal. Aku selalu tersenyum
mengingat Ibu mertuaku, Ummi
Bilal, yang menasehati agar tidak
menceritakan kehidupanku
sebelumnya didepanmu, Abu
Khalid, karena khawatir engkau
akan cemburu. Tapi aku akan
menjawab, “Apa yang engkau
katakan Bibi? Dialah yang selalu
mengawali percakapan tentang ini,
dan ia memastikan bahwa ia
menyayangi anak-anakku dengan
Abu Bakar.”
Terkadang aku kagum dengan pria
yang membuat keseimbangan
dalam perang dengan Israel juga
mempunyai sifat romantis. Suatu
waktu aku dikagetkan olehmu yang
membelikan banyak baju baru
untuk diriku, Umar, Ali, Halimah,
dan Sarah. Waktu itu aku berpikir
untuk menyedekahkan sebagian
baju tersebut tapi aku berkata, ”
Aku tidak bisa melakukan hal ini
karena baju-baju ini adalah hadiah
yang mengingatkanku pada
dirimu.”Aku selalu kagum melihat
pemimpin sebuah pasukan yang
menguasai daratan, laut, dan udara
menikmati bermain dengan anak-
anaknya khususnya dengan anak
yang paling ia senangi, si bungsu
Ali, dan aku menjadi semakin
kagum dengan perhatianmu pada
mereka, bahkan ketika memintaku
menutup jendela agar angin tidak
menyakiti mereka.
Kita tidak pernah berkesempatan
untuk mempunyai foto keluarga.
Ada beberapa foto yang disebar
dan digunakan oleh Zionis Israel
yang tetap mencoba
membayangkan seperti apa
wajahmu. Jauh dari peralatan
komunikasi moderen tidak
membuatku kecewa, tidak ada
hape, facebook atau peralatan
apapun yang terlewat dari “obsesi
keamananmu.” Kau tidak pernah
mempedulikan paras ataupun
eloknya penampilan. Rendah hati,
sabar, kerahasiaan dan kekuatan
adalah “Empat keutamaan Dheif”
dimana aku belajar tentang
darimu.
Ketika kami berada di perkumpulan
wanita aku begitu pendiam hingga
kakakku Eman selalu menggodaku,
” Wahai Widad, jika engkau
bersumpah dihadapan mereka dan
mengatakan engkau adalah istri Al
Dheif, mereka tidak akan
mempercayaimu.”
Semua orang bertanya-tanya
seperti apa “bab terakhir” kisah ini.
Sementara dentuman perang
berbunyi, kita mengalami waktu-
waktu yang sulit, dan sungguh aku
saksikan Abu Khalid khawatir akan
keselamatan para penduduk. Kabar
yang membuat Muhammad sangat
pilu adalah kabar tentang seorang
wanita tua yang menjadi buta
setelah rumahnya menjadi target
Zionis Israel, dan semua putranya
syahid tanpa ia ketahui.
Dalam gencatan senjata pertama
aku mendapat kabar bahwa Bayan,
putri bungsuku, menangis saat ia
tinggal bersama dengan kakaknya
Bakar dan Banan di rumah nenek
mereka. Saat kakaknya bertanya
kenapa ia menangis, Bayan
menjawab, “Pesawat-pesawat itu
menjatuhkan bom dan aku takut
Ibu syahid seperti Ayah.” Aku
segera ke tempat dia dan aku
memakai jilbab hijau yang baru,
mungkin aku memakai seragam
untuk menjemput “kesyahidanku”.
Dan seperti biasa Eman
menggodaku, “Pakai warna hitam
seperti biasa saja, Ummi Bakar”.
Aku sangat merindukan anak-
anakku saat gencatan senjata
terakhir diberlakukan, dan aku
berkata pada mereka, Insya Allah
aku akan mengunjungi mereka
“esok hari” didasari pada informasi
yang tersiar tentang gencatan
senjata. Aku memenuhi janjiku dan
menemui mereka “diangkat oleh
bahu masyarakat” setelah penjajah
melanggar gencatan senjata yang
disepakati secara sepihak dalam
usaha mereka untuk membunuh
target utama mereka. Sangat ironis
ketika yang menyampaikan kabar
duka cita adalah keluarga Bilal dan
Muhammad, itulah momen pertama
kedua keluarga bertemu.
Iman, aku tahu betapa sulitnya
bagimu untuk mendengar rumah
keluarga Al Dalou menjadi target di
Gaza dan engkau melihat Umar
mencari seseorang yang ia kenali,
tetapi engkau tidak mampu untuk
bertanya pada orang-orang untuk
mendapatkan kepastian karena
alasan keamanan, dan oleh karena
itu engkau harus menunggu kabar
dari media untuk memastikan
kabar itu. Iman, aku tahu sulit
bagimu untuk melihat Halima
mengumpulkan buah-buahan dan
balon untuk membuat surga
darinya. Surga dimana Ibunya akan
pergi. Akan lebih sulit lagi saat
engkau memberitahu Bakar dan
saudaranya bahwa aku tidak lagi
bersama mereka tetapi mereka
akan mengetahuinya melalui air
matamu. Aku tahu akan lebih sulit
untuk anak yang masih kecil
seperti Banan yang akan berdiri
disamping mayatku dan berdoa,
”Ya Allah karuniakanlah pada Ibu
dan Ayahku surga firdaus.”
Beberapa saat sebelum pesawat
tempur melepaskan tembakannya,
aku sangat bahagia. Aku sedang
meminum kopi dan berbicara
mengenai anak-anakku dan
tingkah mereka. Umar sempat
menyelamatkan diri bersama
Halimah, tetapi Ali, Sarah, dan aku
menjemput takdir yang ditetapkan.
Aku bisa melihat kesedihan dalam
air matamu, Muhammad Al Dheif,
saat kau mengenang masa lalu kita
dan momen-momen kebersamaan
kita yang tidak ada yang tahu
kecuali Allah. Menangislah,
Muhammad Al Dheif, jangan kau
tahan air matamu. Usaplah pelatuk
senjatamu dengannya. Air mata
karena pembantaian tidak akan
melemahkan lelaki, air mata akan
membuatnya semakin kokoh dan
menyalakan apinya. Sedihlah tapi
aku mohon janganlah bersedih hati
terlalu lama. Dan janganlah
menyalahkan bulan Agustus
dimana kekasihmu Widad terkena
rudal bersama darah dagingmu Ali
dan Sarah. Engkau tahu bahwa aku
mencintai bulan Agustus karena
bulan ini pemuda-pemuda gagah
sepertimu dilahirkan untuk
mempimpin orang-orang yang
membuktikan janjinya kepada
Tuhan mereka.***