Jihad itu Bukan Terorisme ….
“Seribu kali kebohongan maka hasilnya
adalah kebenaran”, pepatah ini tepat untuk menjelaskan upaya-upaya sebagian orang untuk
mendaur ulang pengertian jihad. Jihad selalu
didekatkan dengan tindakan terorisme, jihad sama
dengan tindakan kekerasan, jihad identik dengan
usaha merusak tanpa pandang bulu.Ada juga jihad
dengan arti usaha keseharian mencari nafkah dengan sungguh-sungguh juga termasuk jihad, jihad melawan
korupsi, jihad dalam menuntut ilmu, bekerja keras,
disiplin, mengekang hawa nafsu dan makna-makna
lain yang menyimpang dari makna hakikinya
(syara’). Pengertian ini mengalir deras dari mulut-mulut orang
kufar atau dari kalangan muslim yang kurang paham
tentang hakikat jihad. Atau keluar dari ulama-ulama
bayaran dan kaum munafikin yang hendak merusak
ajaran-ajaran Islam. Cuma karena sokongan media
yang pro mereka maka ‘kebohongan’ dalam memberi arti jihad telah merubah ‘arti bohong’
menjadi benar dan akhirnya sebagian umat (awam)
yang masih butuh bimbingan ini termakan dan
menelan mentah-mentah. Menilik sejarah masa lalu, umat Islam Indonesia tidak
asing dengan kata ‘jihad’, mengingat begitu
besarnya nilai istilah ini bagi Indonesia dimasa-masa
kritisnya merebut kemerdekaan dari penjajah
(imperialis) Portugis, Jepang dan Belanda.Hanya
orang-orang buta sejarah dan munafik yang tidak mengakui bahwa berkat resolusi ‘jihad’ yang
dikeluarkan oleh para ulama’ secara individu atau
institusi(kelembagaan seperti KH.Hasyim Asyari
dengan NU-nya) sejak penjajah menginjakkan bumi
Indonesia telah melahirkan pribadi-pribadi
pejuang.Nyawa perlawanan bangkit subur karena panggilan jihad, dan orang-orang yang memahami
keagungan jihadlah yang pada akhirnya
menyingsingkan lengan baju berangkat kemedan-
medan pertempuran; kembali dengan kemenangan
atau syahid dimedan juang. Indonesia bisa merdeka
seperti sekarang karena berkat ‘jihad’, apakah kita lupa dengan pekikan; ’Allahu Akbar..Allahu
Akbar..Allahu Akbar..” dari seorang Bung Tomo
ketika menggelorakan pertempuran 10 November?
Pangeran Diponegoro,Teuku Umar, Pangeran Antasari
dan masih banyak lagi pahlawan yang akrab ditelinga
kita; perjuangan mereka tegak dengan ruh jihad menyatu dalam aliran darah dan tiap tarikan nafas
mereka. Makanya umat perlu atau sangat perlu mewaspadai
niat-niat busuk di balik upaya segelintir orang (karena
sokongan media dan dana dari tuannya yang
menjadikan seolah-olah besar) untuk
menyimpangkan makna ‘jihad’ keluar dari definisi
atau arti yang sesungguhnya.Apalagi ada moment atau peristiwa yang bisa dijadikan pintu masuk atau
alasan untuk mengotak-atik arti jihad ini, mereka
rekayasa Kasus 911, Bom bali 1&2, bom Depok, bom
Serpong, bom gereja Komponten Solo, dan terakhir
Bom Boston , padahal di saat yang sama masyarakat
dunia bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa jahat dan biadabnya Amerika, Cs atas tindak
terorisme dengan pengeboman-pengeboman yang
menumpahkan darah dan nyawa yang jumlahnya
ratusan kali lipat dibandingkan kasus bom
Bali.Lihatlah nasib rakyat Irak, rakyat Afganistan,
yang dicabik-cabik penjajah Amerika cs. Maka ini adalah proyek penjinakan umat Islam agar
mati ruh jihadnya, matinya jiwa perlawanan terhadap
segala bentuk penjajahan baik fisik atau non fisik,
hegemoni atau penguasaan negeri-negeri Islam oleh
negera-negera imperialis adalah menjadi motif
utamanya. Makna-makna jihad yang manipulatif ini terus dipropagandakan di tengah-tengah kaum
Muslim untuk mengaburkan dan menyimpangkan
pandangan masyarakat terhadap makna jihad
sebenarnya. Padahal, ruhul jihad merupakan salah
satu tiang pancang bagi tegaknya Islam dan kaum
Muslim dari serangan musuh-musuhnya. Cuma sayang sebagian besar umat tidak bisa membaca hal-
hal seperti ini, umat masih sangat butuh bimbingan
agar bangkit kesadaran politiknya dan menimbang
segala peristiwa menurut kacamata keyakinan dan
syariatnya. Makna ‘Jihad’ yang benar; Seperti diterangkan dalam al Qur’an dan as Sunnah
kemudian dibukukan dalam ratusan kitab fiqh oleh
ulama’ salafus sholeh dan ulama’-ulama’ zaman
sekarang (dan mu’tabar; jadi rujukan dan pegangan
umat Islam), bisa diringkas; Secara bahasa kata “al-jihaad” berasal dari kata
“jaahada”, yang bermakna “al-juhd” (kesulitan)
atau “al-jahd” (tenaga atau kemampuan).Imam
Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab nya,
secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan
kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani ‘alaa Shahiih al-
Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad
merupakan pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf
jim difathah yang berarti: at-ta’b (lelah) dan al-
masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan kesulitan
yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa merupakan bentuk pecahan dari kata al-
juhd dengan “jim” didhammah, yang berarti: at-
thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-
masing mengerahkan tenaganya untuk melindungi
shahabatnya. Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti
baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau
menuju makna yang lebih khusus, yaitu,
“mengerahkan seluruh kemampuan untuk
berperang di jalan Allah, baik secara langsung,
dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas (taktsiir al-sawaad)
ataupun yang lain (Ibn ‘Abidiin, Haasyiyah, juz III,
hal. 336) Dengan demikian, ketika kata “jihad”
disebut, secara otomatis orang akan memaknainya
dengan makna syariatnya –berperang di jalan
Allah”, bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus ini, bisa ditemukan pada ayat-
ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di dalam ayat-
ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna
bahasanya (bersungguh-sungguh). Contoh Ayat-ayat yang memberikan pengertian Jihad
adalah al Qital (perang); “Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang
tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur
dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang
yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala
yang besar.” (QS. al-Nisaa’ : 95) Jihad dalam ayat ini mempunyai pengertian: keluar
untuk berperang, dan aktivitas ini lebih diutamakan
daripada berdiam diri dan tidak berangkat menuju
peperangan. Para ulama empat madzhab juga telah sepakat
bahwa jihad harus dimaknai sesuai dengan hakekat
syariatnya, yakni berperang di jalan Allah baik secara
langsung maupun tidak langsung. Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan
dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan
“berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga
menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab;
sesungguhnya jihad itu adalah perang. Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-
nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan)
merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga
mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi
fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-
benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin
pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah
diserahkan kepadanya. Jihad Ofensif dan Jihad Defensif Dr. Mohammad Khair Haekal di dalam kitab al-Jihad
wa al-Qital menyatakan, bahwa sebab
dilaksanakannya jihad fi sabilillah bukan hanya
karena adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi
juga dikarenakan tugas Daulah Islamiyyah dalam
mengemban dakwah Islam ke negara lain, atau agar negara-negara lain tunduk di bawah kekuasaan Islam
(jihad ofensif). Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan batas minimal jihad yang dilakukan oleh
negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab al-Iqnaa’,
hal.175 menyatakan, “Hukum jihad adalah fardlu
kifayah, dan imamlah yang berwenang
melaksanakan jihad…ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin sendiri, atau
mengirim ekspedisi perang.” Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab
Nihayah Az-Zain, “Jihad itu adalah fardhu kifayah
untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada
di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu
tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama
tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum
Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu
dari dua cara”. Berdasarkan pendapat di atas dapatlah disimpulkan
bahwa jihad yang dilakukan oleh kaum Muslim bisa
berwujud jihad ofensif maupun defensive. Jadi jihad
itu bukan terorisme, dan jihad tidak sama dan tidak
identik dengan terminologi kekerasan. Umat Islam bisa menyaksikan hari ini, penanganan
aksi teror selalu di ekpos di media secara sengaja
dengan mengkaitkan simbol-simbol Islam, misalkan
barang bukti adalah buku-buku, web, sosial media
yang menjelaskan tentang jihad dan semisalnya.
Sekalipun kita juga harus obyektif, barang kali ada segelintir orang muslim yang bias menterjemahkan
jihad dalam konteks yang tidak tepat, atau bisa jadi
mereka pun dijebak dan direkayasa. Namun demikian bukan berarti orang bisa seenak
perutnya mengkriminalisasi tema Jihad yang
mulia.Bahkan condong penanganan “terorisme”
sudah lepas dari konteks historikal politik global
maupun lokal yang sedemikian rupa akhirnya
mendorong memposisikan umat Islam banyak membuat reaksi daripada aksi. Dan ketika sebagian
saudara-saudara kita tidak mampu mengendalikan
diri, outputnya adalah sebuah langkah yang akhirnya
menjadi kontraproduktif di manipulir oleh media
sekuler secara sistematis. Atas nama jihad
melakukan tindakan teror yang tidak proporsional, dan membuat salah paham dunia dan umat Islam
sendiri yang masih banyak yang awam. Umat harus waspada manufer orang-orang yang
membenci Islam & kaum muslim melalui permainan
bahasa berusaha membikin kacau cara berfikir dan
perilakunya.Wallahu a’lam
Era muslim