intelijen-anti-islam-bintang-david-israel-dan-bayang2-intelijen-jpeg-image_.jpg.
LB MORDANI, KADER JESUIT YANG MEMUSUHI
ISLAM (SALAM-ONLINE.COM) : Jika ‘Mengenal Sosok Intelijen Anti-Islam’ di bagian sebelumnya
mengungkap sosok Ali Moertopo, di bagian ketiga ini
menyingkap kader atau penerusnya Ali Moertopo,
yaitu Benny Moerdani yang juga dikenal sangat
memusuhi umat Islam. Benny diduga berada di balik tragedi berdarah
Tanjung Priok, 1984. Pada masanya, militer Indonesia
pernah dilatih di Israel. Raut wajahnya keras dan kaku. Terkesan angker dan
tak bersahabat. Itulah Leonardus Benjamin “Benny”
Moerdani, sosok jenderal militer pada masa Orde Baru
yang dikenal sangat benci Islam dan kaum Muslimin. Benny Moerdani adalah orang kepercayaan Ali
Moertopo. Benny sudah dipersiapkan jauh-jauh hari
oleh Moertopo untuk menggantikannya dalam
menjalankan tugas mengawasi bahaya “ekstrem
kanan”, yang tak lain adalah gerakan Islam. Benny Moerdani lahir di Cepu, 2 Oktober 1932. Di
kalangan Katolik, jenderal yang dikenal ahli intelijen
ini sangat dibangga-banggakan. Benny bisa dibilang
sebagai representasi kelompok Katolik yang
mempunyai posisi penting dalam lingkaran militer dan
kekuasaan Orde Baru pada masa lalu. Sebagai kader Moertopo, Benny pernah diangkat
menjadi wakilnya ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dengan Malaysia. Ia juga termasuk sosok yang terlibat dalam
pembentukan Centre for International Studies (CSIS),
sebuah lembaga think-tank yang sangat dekat dengan
Orde Baru, didukung oleh para birokrat Kejawen dan
pengusaha etnik Cina yang saat itu membangun gurita
dalam lingkar elit kekuasaan Orde Baru. Di kalangan tentara Muslim, Benny Moerdani dikenal
sangat tidak aspiratif terhadap kelompok Islam.
Almarhum mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen
Negara (Ka-BAKIN), Letjend TNI Z.A Maulani pernah
mengatakan, pada masa Benny Moerdani menjadi
panglima ABRI, sangat sulit mendapatkan masjid atau mushalla di komplek dan barak-barak militer. Keberadaan tempat ibadah umat Islam tersebut
dikontrol begitu ketat. Bahkan, pada masa itu banyak
tentara Muslim yang tidak berani mengucapkan
“Asssalamu’alaikum” ketika berada di
lingkungan militer. Benny pernah melontarkan pernyataan kontroversial
yang melarang umat Islam mengucapkan salam.
Dalam sebuah rapat kabinet bidang Polkam, Jaksa
Agung Ali Said pernah dibentak oleh Benny karena
mengucapkan “salam” dalam rapat tersebut.
“Indonesia bukan negara Islam, tak perlu ucapkan salam,” bentaknya saat itu. Peristiwa pembajakan pesawat yang disebut-sebut
sebagai bagian dari operasi kelompok jihad, juga
digagalkan atas peran Moerdani. Ia terlibat dalam aksi
pembebasan para sandera dan penangkapan orang-
orang yang dianggap sebagai “teroris” atau
“ekstrem kanan” ketika itu. Pasca Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) yang diduga
kuat melibatkan operasi intelijen Ali Moertopo,
Presiden Soeharto memanggil Moerdani yang ketika
itu sedang bertugas sebagai konsulat di KBRI Korea
Selatan untuk datang menghadap. Belakangan diketahui, pemanggilan Moerdani ke
Jakarta oleh Presiden Soeharto adalah hasil lobi-lobi
Ali Moertopo untuk menempatkan kader pentingnya di
lingkaran presiden. Dengan diantar oleh Moertopo, Moerdani kemudian
bertemu Pak Harto. Setelah pertemuan, Moerdani
kemudian diangkat oleh Soeharto sebagai Ketua G-1
Intelijen Hankam yang bertugas mengendalikan
seluruh intelijen di Angkatan Darat dan kepolisian.
Selain itu Moerdani juga diperbantukan untuk BAKIN. Karir militer Benny Moerdani terus melesat, meskipun
ketika itu umat Islam mulai mencurigai sepak
terjangnya yang sangat antipati terhadap aspirasi
Islam. Benny Moerdani dilibatkan dalam menangani intelijen
Kopkambtib dan diangkat menjadi Ketua Satuan Tugas
Intelijen, sebuah lembaga yang dikenal sangat angker
dan ditakuti pada masa Orde Baru. Para ulama, khatib, mubaligh dan aktivis Islam pernah
merasakan bagaimana bengisnya lembaga ini dalam
memosisikan Islam sebagai ancaman dan lawan.
Moerdani bahkan diduga berada di balik perpecahan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sehingga
terbentuklah dua HMI: HMI Dipo dan HMI MPO. Tahun 1983, ketika Benny Moerdani diangkat sebagai
Panglima ABRI menggantikan Jenderal M. Yusuf, umat
Islam makin khawatir dengan sepak terjangnya. Moerdani kemudian melakukan berbagai upaya
restrukturisasi secara drastis, dengan menempatkan
tentara-tentara yang Nasrani dalam jajaran penting di
militer. Benny Moerdani juga dicurigai dalam menjegal karir
para perwira ABRI Muslim. Tak heran, jika ada yang
menyebut telah terjadi kristenisasi di tubuh ABRI di
bawah kepemimpinan Benny Moerdani. Dalam persepsi Benny Moerdani, semua gerakan
Islam adalah ancaman, sebagaimana DI/TII pada
masa lalu yang kemudian ditumpas. Benny Moerdani yang pernah terlibat dalam operasi
menumpas DI/TII dan PRRI/Permesta tidak bisa
membuang persepsi negatif terhadap gerakan Islam,
sehingga menjadikan Islam sebagai ancaman yang
membahayakan keutuhan NKRI. Berbeda dengan Ali Moertopo yang kerap pamer
kekuasaan, Benny justru dikenal sebagai sosok yang
misterius dan penuh rahasia. Meski sama-sama haus
kekuasaan, Bennyi bermain “cantik” untuk
menjalankan obesesinya tersebut. Sebagai orang yang malang melintang di dunia
intelijen, segala tindakan ia perhitungkan dengan
matang dan sangat tertutup. Bahkan ihwal tentara
yang sering kali di latih di Israel pun, pada masa
Benny Moerdani tidak terungkap, tertutup rapat. Di kalangan tentara Muslim, isu tentang militer yang
dilatih di Israel pada masa Benny Moerdani sudah
santer terdengar. Benny menyadari posisinya sebagai bagian dari
kelompok minoritas di Indonesia. Itu membuanya sulit
untuk menggapai puncak kekuasaan di republik ini. Karena itu, dengan kelihaiannya ia berperan sebagai
king maker, orang yang mempengaruhi pihak yang
berkuasa. Kepada perwira kopassus di akhir tahun
1980-an Benny pernah berseloroh, “Buat apa jadi
orang yang berkuasa, jika bisa dengan tanpa risiko
kita mengontrol orang yang berkuasa.” Karena itu, Benny membuat strategi agar orang yang
berkuasa nanti, meskipun berasal dari kalangan
Islam, namun bisa dengan leluasa ia atur. Itulah yang menyebabkan ia menjegal habis-habisan
langkah Soedharmono untuk menjadi wakil presiden,
karena Sudharmono bukan sosok yang bisa ia atur, di
samping, menurutnya, Soedharmono dekat dengan
kalangan santri. Benny kemudian menjadikan Naro
sebagai calon wakil presiden yang ia gadang. Benny juga dikenal lihai dalam mendekati kelompok
Islam yang pernah memendam kekecewaan dengan
Masyumi. Ia melakukan politik belah bambu dengan
mendekati kiai dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU),
dan menginjak kelompok lain yang berseberangan
dengan NU. Pertentangan antara NU sebagai kelompok
tradisionalis Islam dengan kelompok Masyumi sebagai
santri modernis ia pertajam. Karenanya, Benny kerap
bersafari dari pesantren ke pesantren NU dengan
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk melakukan
politik pecah belah tersebut. Safari bersama dilakukan Benny dan Gus Dur di tengah
kecaman umat Islam yang menuntut Benny
bertanggung jawab dalam tragedy pembantaian umat
Islam Tanjung Priok, di Jakarta pada 12 September
1984. Saat peristiwa Priok, Benny sedang berada di Jakarta.
Bahkan pada tengah malam usai tragedi
pembantantaian, Benny sudah berada di lokasi
kejadian. Pada dini harinya ia langsung meluncur ke rumah
sakit dan sempat menghitung jumlah mayat yang
tergeletak di rumah sakit. Anehnya, sampai akhir
hayatnya, Benny Moerdani sama sekali tidak
tersentuh hukum dalam tragedi berdarah ini. Benny & Try Sutrisno pasca Peristiwa
Priok Leonardus Benny Moerdani meninggal di Jakarta, pada
29 Agustus 2004 dalam usia 72 tahun, karena
menderita stroke. Kepergiannya mendapatkan
penghormatan yang luar biasa di kalangan militer. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta. Bendera setengah tiang selama tujuh hari
dikibarkan di lingkungan militer. Setelah Moerdani tiada, siapakah sosok intelijen anti
Islam yang menggantikannya?
Artawijaya/salam-
online.com)